AKHLAK ISLAM DAN PERANANNYA DALAM PEMBINAAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Akhlak merupakan suatu masalah yang sangat mendasar bagi setiap pribadi muslim dalam kehidupan sehari-hari yang mampu mewarnai segala sikap dan perilakunya baik ketika berhubungan dengan manusia maupun ketika berhubungan dengan alam sekitar, terlebih lagi dalam berhubungan dengan Allah SWT menuju keselamatan dunia dan akhirat. Manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki sifat dan tingkah laku yang kadang kala dapat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Maka sangat dibutuhkan adanya kepribadian, sehingga ia akan selalu berada dalam rel kebenaran walaupun dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun juga, baik yang datang dari dirinya maupun dari luar. Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera rusaknya satu bangsa dan masyarakat adalah bergantung kepada bagaimana akhlaknya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak) rusaklah lahir dan batinnya. Para filosof Islam mengatakan bahwa betapa pentingnya periode seseorang dalam menentukan pribadi/budi pekerti dan pembiasaan seseorang kepada tingkah laku yang baik pada masa kecilnya. Para filosof Islam juga berpendapat bahwa pendidikan anak sejak kecilnya harus mendapatkan perhatian yang penuh. Pembentukan kerohanian atau kepribadian yang utama di waktu kecilnya harus mendapat perhatian yang penuh, sangatlah penting artinya bagi perkembangan anak. Karena apabila anak dibiarkan melakukan sesuatu yang kurang baik dan kemudian telah menjadi kebiasaannya akan sukar untuk meluruskannya. Hal tersebut akan menjadi konotasi bahwa pendidikan yang baik wajib dimulai dari rumah dalam keluarga, sejak anak masih kecil, agar jangan sampai anak-anak tanpa pendidikan, bimbingan dan petunjuk-petunjuk, dan bahkan sejak waktu kecilnya ia harus dididik, sehingga anak tidak terbiasa dengan adat yang kurang baik. Anak-anak bila dibiarkan saja, tidak diperhatikan, tidak dibimbing, maka ia akan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 2.1 Apakah konsep akhlak? 2.2 Bagaimana menganalisis langkah pembentukan dan dampak akhlak terhadap kehidupan? 2.3 Bagaimana cara mengambil keputusan secara bertanggungjawab yang didasarkan atas akhlakul karimah? 3. Tujuan Masalah Berdasarkan rumusan makalah di atas dapat dirumuskan tujuan masalah sebagai berikut. 3.1 Memaparkan konsep akhlak. 3.2 Menganalisis langkah pembentukan dan dampak ahklak terhadap kehidupan. 3.3 Menjabarkan cara mengambil keptusan secara bertanggungjawab yang didasarkan atas akhlakul karimah. BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN ETIKA, MORAL DAN AKHLAK Etika adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani,ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut para ulama’ etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama). Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibnu Miskawaih ( 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. B. KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP AHKLAK DALAM ISLAM 1. Kedudukan Akhlak dalam Islam Akhlak merupakan fondasi dasar karakter diri manusia. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia yang menempatkan posisi akhlak sebagai pemelihara eksistensi manusia. Akhlaklah yang membedakan karakter manusia dengan makhluk lainnya. Manusia tanpa akhlak akan kehilangan derajat sebagai hamba Allah yang paling terhormat. Sebagaimana firmannya dalam surat At-Tiin:4-6. لَقَدْخَلَقْنَاالإِنْسَانَ فِيْ أحْسَنِ تَقْوِيْمٍ۝٤ شُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسَفَلَ سَافِلِيْنَ۝٥ إلاَّالَّذِيْنَ أَمَنُواوَعَمِلُوْاالصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌغَيْرُمَمْنُوْنٍ۝٦ Sesungguhnya kami telah menciptakkan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Ayat diatas menunjukkan, bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya. Hanya saja jika manusia tidak konsisten menjaga potensi kebaikkan yang dimilikinya, ia akan tergelincir pada derajat yang serendah-rendahnya. Dalam arti, meskipun manusia terlahir dalam dalam keadaan baik, namun juga memiliki potensi untuk salah. Untuk itu, agar dapat mengaktualisasikan fitrahnya, manusia perlu menguasai potensi salah atau kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, dengan berakhlak yang baik. Akhlak dalam perspektif Islam, merupakan mustika kehidupan yang menghantarkan kesuksesan seorang muslim. Sebagaimana kesuksesan para Nabi dan Rasul Allah dalam menjalani kehidupan di dunia, mengemban tugas, fungsi dan risalahNya, tidak dapat dilepaskan dari akhlak. Aisyah R A. ketika ditanya mengenai akhlak Rasulullah SAW, ia menjawab: قَالَتْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ “Akhlak Rasul itu adalah Al-Qur’an” (H.R. Imam Ahmad) Tasmara (2001) menyebut, Nabi Muhammad SAW memiliki akhlak yang sangat agung yang terlihat dari ucapan dan tindakannya. Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai seorang shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (me-nyampaikan) dan fathanah (cerdas). Dari sekian keagungan akhlak yang dimiliki Rasulullah SAW, apabila salah satunya bias diikuti dan diteladani oleh setiap muslim, niscaya akan menjadi kebaikan yang tidak pernah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan pula. Hal ini juga berlaku ketika generasi muda muslim dapat mengikuti semua akhlak dan perilaku Rasulullah akan lebih mendatangkan kebaikan dan kemanfaatan bagi tegaknya syiar Islam. Sebaliknya ketika seorang muslim melakukan akhlak yang buruk, seperti: tidah amanah dalam tugas, dalam memegang jabatan, dapat mengakibatkan tibulnya berbagai macam kemudhratan, kerusakan baik bagi diri, orang lain maupun kerusakan lingkungan sekitarnya. 2. Ruang Lingkup Akhlak Islam Ruang lingkup akhlak Islam mencakup tiga aspek: akhlak kepada Allah, ahklah kepada sesama manusia, akhlak terhadap lingkungan. a. Akhlak kepada Allah SWT Akhlak kepada Allah pada primsipnya merupakan penghambaan diri secara total kepada-Nya. Sebagai makhluk yang dianugerahi akal sehat, seorang muslim wajib menempatkan diri pada posisi yang tepat, yakni sebagai penghamba, menempatkan Allah sebagai Zat yang Maha Kuasa serta satu-satunya Zat yang kita pertahankan. Beberapa bentuk perbuatan yang merupakan akhlak terpuji kepada Allah SWT, antara lain: 1. Menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya 2. Mensyukuri nikmat-nikmat-Nya Hal ini secara langsung diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 114. وَاشْكُرُوانِعْمَةَاللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ۝١١٤ “Syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya (Q.S. Al-Nahl:114) 3. Tawakal Tawakal kepada Allah berarti berserah diri dan mempercayakan diri kepada-Nya. Tawakal bukan berarti berserah diri tanpa ikhtiar. Justru sebaliknya, tawakal itu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam hati, dan diwujudkan melalui ikhtiar lahiriah dengan seluruh kemampuan yang dimiliki dengan keyakinan Allah akan memberikan apa yang diikhtiarkannya. b. Akhlak kepada Rasulullah Salah satu pokok akhlak yang mulia (karimah) yang harus kita tegakkan dalam penghambaan diri secara total kepada Allah adalah mengikuti jejak Rasulullah SAW. Implementasi dari mengikuti perilaku Rasulullah SAW berarti menempatkan beliau sebagai manusia pilihan Allah, membenarkan kerasulannya, membenarkan risalah yang dibawanya, dan menjadikan beliau sebagai panutan (uswah) dalam menjalani kehidupan. c. Akhlak kepada Sesama Manusia 1. Berbakti kepada Kedua Orang Tua Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu amal saleh yang mulia, bahkan perbuatan ini sangat utama di sisi Allah SWT. Begitu besarnya martabat orang tua dipandang dari kacamata syariat, Nabi Muhammad SAW mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Orang tua, ayah dan ibu merupakan orang yang sangat berjasa dalam kehidupan kita karena telah mengasuh, merawat, mendidik kita mulai dari sebelum lahir hingga dewasa dengan cinta dan kasih saying yang tulus. Rasulullah SAW menghubungkan perbuatan tercela dengan syirik. 2. Menghormati yang Tua, Menyayangi yang Muda Islam mengajarkan akhlak agar kaum tua senantiasa menyayangi dan memberikan pendidikan yang positif terhadap kaum muda sehingga yang muda akan menghormati yang tua. 3. Menghormati Tetangga Islam juga mengajarkan akhlak yang perlu dibina dalam lingkungan tetangga. Tetangga merupakan lingkungan terdekat dengan tempat tinggal dimana kita berada, yang merupaka pihak yang lebih cepat dapat memberikan pertolongan apabila terjadi kesulitan. d. Akhlak terhadap Lingkungan Akhlak terhadap lingkungan, mencakup bagaimana memperlakukan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa yang juga merupakan makhluk ciptaan Allah. Di dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa untuk mencegah terjadinya dampak negatif berupa kerusakan lingkungan (fisik maupun non fisik), maka manusia dalam berfikir dan berbuat hendaknya berpegang kepada prinsip “ihsan” yaitu selalu berorientasi kepada yang paling baik, benar, dengan senantiasa mengharap keridhaan dari Allah SWT. C. PROSES PEMBENTUKAN AKHLAK Dalam perspektif psikologi kepribadian, kecendrungan psikologis dan biologi manusia adalah mengarah pada kebaikan bukan keburukan, namun mudah untuk menerima ransangan-ransangan negatif yang bersifat eksternal (Hasyim, 2002). Untuk itu, perlu adanya pengendalian terhadap kecenderungan tersebut agar manusia tidak mudah menerima ransangan yang mengarahkan pada kesalahan sehingga terwujud akhlak yang baik. Secara umum, akhlak yang baik dapat dibentuk dalam diri setiap individu, karena Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak yang buruk. Jika hal itu tidak mungkin dibebankan atas manusia, Allah tidak akan mentaklifkannya pada manusia, karena Islam tidak memerintah hal-hal yang mustahil kepada pemeluknya. Hal ini berdasarkan potensi keunggulan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, berupa kemampuan berpikir, sehingga dapat membedakan antara antara kebaikan dan keburukan. Akhlak dapat dibentuk berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil dari usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi ruhaniah yang ada dalam diri manusia sebagaimana dikemukakan Nata (2001) termasuk didalamnya, akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, dapat dibina dengan pendekatan yang tepat. Proses pembentukan akhlak dapat dilakukan antara lain melalui cara-cara berikut. 1. Pembiasaan Manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu melalui penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Al-Ghazali (dalam Nata, 2002) menegaskan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima segala upaya pembentukan melalui pembiasaan. Pembiasaan untuk membentuk akhlak yang baik, dan mengendalikan jiwa untuk mengakhiri tingkah laku yang tidak baik. Pembiasaan dapat menumbuhkan kekuatan pada diri untuk melakukan aktifitas tanpa paksaan. Namun demikian, pada situasi tertentu strategi pembentukan akhlak dengan pembiasaan melalui cara “paksaan” dapat dibenarkan. Hal ini karena, suatu perbuatan yang dilakukan secara terus menerus lama kelamaan tidak terasa sebagai sebagai paksaan. Selanjutnya akan menjadi sifat baik yang mendorong lahirnya akhlak yang baik. 2. Keteladanan Prinsip keteladanan efektif dilakukan karena fitrah manusia adalah lebih kuat dipengaruhi dari melihat contoh disekitarnya (Syafri, 2012). Demikian pula ditegaskan Muhaimin (1993) bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan untuk belajar melalui terhadap kebiasaan dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya melalui instruksi serta anjuran, tetapi diperlukan langkah pemberian contoh teladan yang baik dan nyata dari diri dan lingkungan sekitar. Keteladanan ini dapat diambil dari meneladani perjalanan hidup para Nabi, sahabat Nabi, serta sejarah hidup orang-orang yang memiliki keutamaan akhlak, sehingga akan memacu diri untuk berakhlak yang baik. 3. Refleksi Diri Strategi refleksi diri, dapat dilakukan dengan cara senantiasa melakukan perenungan atas segala perbuatan baik ataupun yang telah diperbuat dalam setiap rentang waktu tertentu baik menit, jam ataupun selama kehidupan ini dalam hubungannya dengan Allah dan sesama. Perenungan ini, hendaknya ditindak-lanjuti dengan kesadaran dan tekad akan sulit terbentuk akhlak baik yang bersifat konstan (ajeg). Hal ini, karena dalam perspektif psikologi kepribadian terdapat satu dimensi kepribadian individu yang disebut watak. Purwanto (1999) menyatakan, bahwa sulit dirubah. Secara spesifik, terdapat beberapa upaya dalam membentuk akhlak yang baik adalah sebagai berikut. a. Mengetahui macam-macam akhlak yang baik yang telah ditetapkan dalam agama Islam dan juga macam-macam akhlak yang buruk yang telah dilarang oleh Islam. Hal ini sangat penting sekali karena jikalau tidak diketahui oleh seseorang muslim bagaimana ia bisa membedakan akhlak yang baik dan akhlak yang tidak baik. b. Mengetahui dan menyadari akan pentingnya berakhlak yang baik karena hail ini berhubungan langsung dengan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT sebagaimana juga harus mengetahui akan bahaya berakhlak yang buruk. c. Merealisasikan dalam perilaku sehari-hari sebagai bukti nyata dari ke-imanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT, karena akhlak yang buruk itu menunjukkan lemahnya keimanannya kepada sang khalik, sebaiknya akhlak yang mulia menunjukkan tingginya iman dan takwa kepada Allah SWT. d. Mengevaluasi diri disertai senantiasa berkomitmen untuk istiqomah berakhlak baik dengan memperhatikan perjalanan hidupan para Nabi, sahabat Nabi, serta sejarah hidup orang-orang yang memiliki keutamaan akhlak, sehingga akan memacu jiwa untuk meneladani kebaik-kebaikan mereka. D. AKTUALISASI AKHLAK DALAM KEHIDUPAN Islam memotivasi dan menghimbau kepada setiap muslim agar berakhlakul karimah dengan berbagai bentuk perintah dan larangan. Beberapa bentuk aktualisasi akhlak dalam kehidupan adalah sebagai berikut. 1. Menutup Aurat Secara etimilogis, kata “aurat” berasal dari kata a’wara, yakni sesuatu yang jika dilihat akan memancarkan. Jadi aurat adalah anggota badan yang harus ditutup dan dijaga sehingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu. Batas aurat perempuan sebagaimana dikemukakan Tahido (2010) berbeda-beda, perbedaannya tergantung pada dengan siapa perempuan tersebut berhadapan. Secara umum perbedaan itu dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Aurat perempuan ketika “berhadapan” dengan Allah ketika shalat adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. b. Aurat perempuan berhadapan berhadapan dengan mahramnya, dalam hal ini beberapa ulama’ berbeda pendapat. 1. Ulama’ Syafi’ah berpendapat bahwa aurat perempuan ketika bersama mahramnya adalah antara pusat dan lutut, sama dengan aurat kaum laki-laki atau aurat perempuan ketika berhadapan dengan perempuan. 2. Al-Malikiah dan Al-Hambaliah berpendapat bahwa aurat perempuan ketika berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki badannya kecuali muka, kepala, leher dan kedua kakinya. c. Aurat perempuan berhadapan dengan orang yang bukan mahramnya. Ulama telah sepakat bahwa selain wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki, seluruh badan perempuan adalah aurat, tidak halal dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki lain. 2. Menolak Pornografi dan Pornoaksi Menurut bahasa, pornografi berasal dari kata Yunani “porne” yang berarti perempuan jalang dan graphein berarti menulis. Dari pengertian ini, menunjukkan bahwa objek utama dan sumber pornografi adalah perempuan. Dalam referensi lain, porno juga bermakna cabul. Dari sinilah pornografi dipahami sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi. Pornografi didefinisikan oleh Ernst dan Seagle sebagai berikut: “Pornography is any matter odd thing exhibiting or visually representing persoss or animals performing the sexual act, whetever normal or abnormal”. Pornografi adalah berbagai bentuk atau sesuatu yang secara visual menghadirkan manusia atau hewan yang melakukan tindakan sexual, baik secara normal ataupun abnormal. Oleh karena itu istilah pornografi mengandung pengertian pejorative tentang hal-hal yang bersifat sexual. Peter Webb sebagaimana dikutip oleh Rizal Mustansyir melengkapi definisi pornografi dengan menambahkan bahwa pornografi itu terkait dengan obscenity (kecabulan) lebih daripada sekedar eroticism. Menurut Webb, masturbasi dianggap semacam perayaan yang berfungsi menyenangkan tubuh seseorang yang melakukannya. Kemudian dalam perkembangan terbaru pornografi dipahami dalam tiga pengertian; Pertama, kecabulan yang merendahkan derajat kaum wanita. Kedua, merosotnya kualitas kehidupan yang erotis dalam gambar-gambar yang jorok, kosakata yang kasar, dan humor yang vulgar. Kegita, mengacu pada tingkah laku yang merusak yang terkait dengan mental manusia. Pengertian ketiga kemudian menjadi latarbelakang istilah pornoaksi, karena terkait dengan tindakan yang mengarah pada hal-hal yang merusak melalui aktivitas seksual, baik secara kontak person yang bersifat liar maupun melalui penyelenggaraan badaniah. Kontak seksual yang bersifat liar dalam hal ini berarti tanpa melalui prosedur yang resmi (pernikahan), atau dalam bahasa agama lebih dikenal dengan istilah zina. Sedangkan menurut Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2008, tentang Pornografi, didefinisikan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Terkait dengan pornografi dan pornoaksi Majelis Ulama’ Indonesia (dalam Hawari, 2012) telah menetapakan fatwa no. 287 tentang hukum pornografi dan pornoaksi. Fatwa tersebut menyatakan bahwa: a. Menggambarkan secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik dengan tulisan, gambar, suara, reklame, iklan maupun ucapan baik melalui cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu adalah haram. b. Membiarkan aurat terbuka atau memakai pakaian ketat dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram. c. Memperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperliahatkan gambar orang, baik cetak atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat yang dapat membangkitkan nafsu syahwat adalah haram. 3. Menjauhi Pergaulan Bebas Pandangan bebas terhadap pergaulan bebas dapat dicermati melalui Q.S. Al-Isra’:32 yang melarang setiap orang Islam mendekati zina, apalagi sampai melakukannya. Selain itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia bersama di tempat dengan perempuan yang tidak ada bersamanya seorang muhrimnya karena yang ketiganya di waktu itu adalah setan” (H.R. Ahmad). 4. Menghindari Penyalahgunaan Narkoba Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Para ulama sepakat menegaskan status haramnya mengkonsumsi narkoba ketika bukan dalam keadaan darurat. Ibnu Taimiyah berkata: “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan, diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan” (Majmu’ Al Fatawa:204). BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Etika adalah suatu ajaran yang berbicara tentang baik dan buruknya yang menjadi ukuran baik buruknya atau dengan istilah lain ajaran tenatang kebaikan dan keburukan, yang menyangkut peri kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan). Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama) Ruang lingkup akhlak Islam mencakup tiga aspek: akhlak kepada Allah, ahklah kepada sesama manusia, akhlak terhadap lingkungan. Dalam perspektif psikologi kepribadian, kecendrungan psikologis dan biologi manusia adalah mengarah pada kebaikan bukan keburukan, namun mudah untuk menerima ransangan-ransangan negatif yang bersifat eksternal (Hasyim, 2002). Untuk itu, perlu adanya pengendalian terhadap kecenderungan tersebut agar manusia tidak mudah menerima ransangan yang mengarahkan pada kesalahan sehingga terwujud akhlak yang baik. Proses pembentukan akhlak dapat dilakukan antara lain melalui cara pembiasaan, keteladanan dan refleksi diri. Bentuk aktualisasi akhlak dalam kehidupan yaitu menutup aurat, menolak pornografi dan pornoaksi, menjauhi pergaulan bebas dan menghindari penyalahgunaan narkoba. DAFTAR PUSAKA Tim Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Negeri Malang. 2013. Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Pengembangan Pribadi Berkarakter. Penerbit Gunung Samudra. Malang Rahman, Irfandy. 2013 Makalah Etika, Moral dan Akhlak (http://tugasku-4u.blogspot.com/2013/07/makalah-etika-moral-dan-akhlak.html, diakses 6 Oktober 2013 pukul 17.56 WIB)

Komentar